Definisi Leadership
Seiring perkembangan
zaman, kepemimpinan secara ilmiah mulai
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan manajemen ilmiah yang lebih
dikenal dengan ilmu tentang memimpin. Hal ini terlihat dari banyaknya literatur
yang mengkaji tentang leadership dengan berbagai sudut
pandang atau perspektifnya. Leadership tidak hanya dilihat
dari bak saja, akan tetapi dapat dilihat dari penyiapan sesuatu secara
berencana dan dapat melatih calon-calon pemimpin.
Kepemimpinan atau
leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu
social, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan
manfaat bagi kesejahteraan manusia (Moejiono, 2002). Ada banyak pengertian yang
dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing,
definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Menurut Tead; Terry;
Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian
Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi
orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut
untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan
kelompok.
Menurut Young (dalam
Kartono, 2003) Pengertian
Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi yang didasari atas
kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat
sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan memiliki keahlian
khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
Moejiono (2002)
memandang bahwa leadership tersebut sebenarnya
sebagai akibat pengaruh satu arah, karena pemimpin mungkin memiliki kualitas-kualitas tertentu yang
membedakan dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction theorist) cenderung memandangleadership sebagai pemaksaan atau
pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sebagai sarana untuk membentuk
kelompok sesuai dengan keinginan pemimpin (Moejiono, 2002).
Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan kemampuan
mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah
laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam
bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau
kelompok.
Pengertian Kepemimpinan
Teori-teori kepemimpinan partisipatif
·
Tipe partisipatif
Sebab kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan seimbang antara pemimpin dan bawahan, pemimpin dan bawahan sama-sama
terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Komunikasi dua arah
makin bertambah frekuensinya, pemimpin makin mendengarkan secara intensif
terhadap bawahannya. Keikutsertaan bawahan untuk memecahkan masalah dan
mengambil keputusan makin banyak, sebab pemimpin berpendapat bahwa bawahan
telah memiliki kecakapan dan pengetahuan yang cukup luas untuk menyelesaikan
tugas.
Ciri-cirinya :
1. Pemimpin memberikan
dukungan tinggi dan sedikit/rendah pengarahan.
2. Posisi kontrol atas
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara berganti antara
pemimpin dan bawahan.
3. Komunikasi dua arah ditingkatkan.
4. Pemimpin mendengarkan
bawahan secara aktif.
5. Tanggung jawab
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagian besar pada bawahan.
a. Teori X dan
Teori Y dari Douglas McGregor
Teori prilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa
suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada
orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku
The Human Side Enterprise di mana para manajer / pemimpin organisasi perusahaan
memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai / karyawan yaitu teori x
atau teori y.
·
Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia
adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari
pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi
yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta
jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi,
diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan
perusahaan.
Teori X memberikan petuah manajer harus memberikan
pengawasan yang ketat, tugas-tugas yang jelas, dan menetapkan imbalan atau
hukuman. Hal tersebut, karena manusia lebih suka diawasi daripada bebas, segan
bertanggung jawab, malas dan ingin aman saja, motivasi utamanya memperoleh uang
dan takut sanksi.
Contoh individu dengan teori X : pekerja bangunan.
– Keuntungan Teori X :
Karyawan bekerja untuk memaksimalkan kebutuhan
pribadi.
– Kelemahan Teori X :
a. Karyawan malas,
b. Berperasaan irrasional,
c. Tidak mampu mengendalikan diri dan disiplin.
·
Teori Y
Teori Y memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat
manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Individu yang berperilaku
teori Y mempunyai sifat : suka bekerja, commit pada pekerjaan, suka mengambil
tanggung jawab, suka memimpin, biasanya orang pintar.
Contoh orang dengan teori Y : manajer yang
berorientasi pada kinerja.
– Keuntungan teori Y :
a. Pekerja menunjukkan kemampuan pengaturan diri,
b. Tanggung jawab,
c. Inisiatif tinggi,
d. Pekerja akan lebih memotivasi diri dari kebutuhan
pekerjaan.
– Kelemahan Teori Y :
Apresiasi diri akan terhambat berkembang karena
karyawan tidak selalu menuntut kepada perusahaan
B. Teori Sistem 4 dari Rensis Linkert
– Asumsi dasar
Bila seseorang memperhatikan dan memelihara pekerjanya
dengan baik maka operasional organisasi akan membaik. Fungsi-fungsi manajemen
berlangsung dalam empat system:
1. Sistem
pertama (exploitive authoritative)
system yang penuh tekanan dan otoriter dimana segala
sesuatu diperintahkan dengan tangan besi dan tidak memerlukan umpan balik.
Pemimpin sangat otokratis, mempunyai
sedikit kepercayaan kepada bawahan, suka mengekplotasi bawahan, bersikap
paternalistik memotivasi dengan memberi ketakutan dan hukuman-hukuman, diselang
seling pemberian penghargaan yang secara kebetulan (occasional
reward), hanya mau memperhatikan pada komunikasi yang turun ke bawah, dan hanya
membatasi proses pengambilan keputusan di tingkat atas.
2. Sistem
kedua (benevolent authoritative/otokrasi yang baik hati)
system yang lebih lunak dan otoriter dimana manajer
lebih sensitive terhadap kebutuhan karyawan.
Mempunyai kepercayaan yang berselubung, percaya pada
bawahan, mau memotivasi dengan hadiah-hadiah dan ketakutan berikut
hukuman-hukuman, memperbolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan
pendapat-pendapat, ide-ide dari bawahan, dan memperbolehkan adanya delegasi
wewenang dalam proses keputusan, bawahan merasa tidak bebas untuk membicarakan
sesuatu yang bertalian dengan tugas pekerjaannya dengan atasan.
3. Sistem ketiga (manajer konsultatif)
system konsultatif dimana pimpinan mencari masukan
dari karyawan.
Mempunyai sedikit kepercayaan pada bawahan, biasanya
dalam perkara kalau ia memerlukan informasi, ide atau pendapat bawahan; masih
menginginkan melakukan pengendalian atas keputusan-keputusan yang dibuatnya;
mau melakukan motivasi dengan penghargaan dan hukuman yang kebetulan; dan juga
berkehendak melakukan partisipasi; menetapkan dua pola hubungan komunikasi,
iaitu ke atas dan ke bawah; membuat keputusan dan kebijakan yang luas pada
tingkat bawah; bawahan merasa sedikit bebas untuk membicarakan sesuatu yang
bertalian dengan tugas pekerjaan bersama atasan.
4. Sistem
keempat (partisipative group/kelompok partisipatif)
system partisipan dimana pekerja berpartisipasi aktif
dalam membuat keputusan.
Mempunyai kepercayaan yang sempurna terhadap bawahan;
dalam setiap persoalan selalu mengandalkan untuk mendapatkan ide-ide dan
pendapat-pendapat lainnya dari bawahan, dan mempunyai niatan untuk
mempergunakan pendapat bawahan secara konstruktif; memberikan penghargaan yang
bersifat ekonomis dengan berdasarkan partisipasi kelompok dan keterlibatannya
pada setiap urusan terutama dalam penentuan tujuan bersama dan penilaian
kemajuan pencapaian tujuan tersebut; mendorong bawahan untuk ikut bertanggung
jawab membuat keputusan, dan juga melaksanakan keputusan tersebut dengan
tanggung jawab yang besar; bawahan merasa secara mutlak mendapat kebebasan
C. Model Leadership Continuum
Teori ini merupakan hasil pemikiran dari Robert
Tannenbaum dan Warren H.Schmidt. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan
Blanchard (1994) berpendapat bahwa pimpinan mempengaruhi pengikutnya melalui
beberapa cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut
dengan perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim
lainnya yang disebut dengan perilaku demokratis.
Perilaku otokratis, pada umumnya dinilai bersifat
negative, dimana sumber kuasa atau wewenang berasal dari adanya pengaruh
pimpinan.
Perilaku demokratis, perilaku kepemimpinan ini
memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan.
Menurut teori Continuum ada tujuh tingkatan hubungan
pemimpin dengan bawahan:
1. Pemimpin membuat dan mengumumkan keputusan terhadap
bawahan (telling).
2. Pemimpin menjualkan dan menawarkan keputusan
terhadap bawahan (selling).
3. Pemimpin menyampaikan ide dan mengundang
pertanyaan.
4. Pemimpin memberiakn keputusan tentative dan
keputusan masih dapat diubah.
5. Pemimpin memberikan problem dan meminta
sarang pemecahannya kepada bawahan (consulting).
6. Pemimpin menentukan batasan-batasan dan minta
kelompok untuk membuat keputusan.
7. Pemimpin mengizinkan bawahan berfungsi dalam
batas-batas yang ditentukan (joining).
Modern Choice Approach to
Participation (Vroom & Yetton)
Menurut teori ini gaya kepemimpinan yang tepat ditentukan oleh corak persoalan
yang dihadapi oleh macam keputusan yang harus diambil. Model teori ini dapat
digunakan untuk:
• Membantu mengenali berbagai jenis situasi pemecahan persoalan
secara berkelompok (group problem solving situation).
• Menyarankan gaya
kepemimpinan mana yang dianggap layak untuk setiap situasi. Ada tiga perangkat
parameter yang penting yaitu klasifikasi gaya kepemimpinan, kriteria
efektifitas keputusan, kriteria penemukenalan jenis pemecahan persoalan.
Misalnya seorang dokter yang mengambil keputusan untuk melakukan operasi
terhadap pasien yang mengalami kecelakaan tanpa dia harus berkonsultasi
terlebih dahulu terhadap staf-stafnya dengan menggunakan informasi yang pada
waktu itu diketahuinya.
Dari sini dapat dilihat bahwa gaya pengambilan keputusan yang diambil oleh
dokter tersebut merupakan gaya pengambilan keputusan A-1 yang dilakukan oleh
seorang pemimpin yang dimana dia mengambil keputusannya sendiri dalam
memecahkan persoalan dengan menggunakan informasi yang pada waktu itu
diketahuinya.
Teori Kepemimpinan Contingensi of Leadhership (Fiedler)
Model ini menyatakan bahwa keefektifan suatu kelompok bergantung pada:
• Hubungan dan interaksi pemimpin dan bawahannya
• Sejauh mana pemimpin mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi.
Dalam hal yang pertama dapat dinilai dengan kuisoner LPC (Least Prepered
Coworker)
• Jika skor LPC tinggi, maka pemimpin berorientasi pada hubungan
• Jika skor LPC rendah, maka pemimpin berorientasi pada tugas.
Misalnya didalam lingkungan bermasyarakat ketua RT setiap minggunya mengajak
masyarakatnya untuk melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar.
Dimana kerja bakti tersebut diadakan agar mempererat hubungan antara ketua RT
dengan warganya dan warga dengan sesama warga yang lain. Dalam kerja bakti
tersebut ketua Rt membimbing warganya untuk sama-sama bekerjasama dan dari
kegiatan tersebut dapat diperoleh suatu manfaat agar ketua RT dapat mengenal
warga lebih jauh dan menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama.Tujuan ketua
RT bukan hanya untuk menjadikan kampungnya bersih,tetapi lebih kepada
mempererat hubungan interpersonal diantara mereka.
Dari sini dapat dilihat bahwa ketua RT tersebut memilik skor LPC yang tinggi.
Karena dia lebih berfokus pada hubungan dengan warganya.
CONTIGENCY
THEORY
Teori kontingensi
menganggap bahwa kepemimpinan adalah suatu proses di mana kemampuan seorang
pemimpin untuk melakukan pengaruhnya tergantung dengan situasi tugas kelompok
(group task situation) dan tingkat-tingkat daripada gaya kepemimpinannya,
kepribadiannya dan pendekatannya yang sesuai dengan kelompoknya. Dengan
perkataan lain, menurut Fiedler, seorang menjadi pemimpin bukan karena
sifat-sifat daripada kepribadiannya, tetapi karena berbagai faktor situasi dan
adanya interaksi antara Pemimpin dan situasinya.
Model
Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) .
Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the
motivasional system of the leader and the degree to which the leader has
control and influence in a particular situation, the situational favorableness
(Fiedler, 1974:73).